Kamis, 19 Maret 2009

Ahlan wa sahlan

AHLAN WA SAHLAN

Doktrin hukum pidana

" Konfrontasi kepastian hukum dan keadilan hukum"
( Study pertentangan antara asas legalitas formal dan asas legalitas materiil )


Oleh: Pramadya Khairul Awaludin Al-madiuny

Abstrak

Prinsip “Legality” merupakan konsep dasar, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”, bahkan dalam syariah islamiyah. Indonesia dewasa ini masih berpegang teguh dengan asas legalitas, walaupun asas legalitas sering mengabaikan keadilan hukum.

Kata Kunci: asas legalitas, kepastian hukum, keadilan sosial

A. Pendahuluan

Pasal 1 ayat 1 KUHPidana memuat asas (beginsel) yang teercakup dalam rumus (formule) : nullum dellictum, nulla poenasiene lege poenali, yaitu tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahuklu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai delik dan memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. Pada mulanya saya respek dan sempat kaget terhadap pasal ini karena menurut saya yang baru belajar hukum pidana pasal ini hampir mirip dengan ayat yang pernah saya pelajari di hukum islam yang bertumpu pada ayat " Wa maa kunnaa mu'adzibina hatta nab'atsa rasuula" " Dan kami (allah) tidak menjatuhkan siksa sebelum kami mengutus seorang rasul" yang kemudian ayat ini melahirkan kaidah fiqhiyyah " la hukma li af'al al'uqola qobla wurudi al-nash" (tidak ada hukum bagi orang brakal sebelum ada ketentuan nashnya).

Terlepas dari membanding-bandingkan antara asas legalitas yang ada di hukum islam dan KUHP, ada sedikit permasalahan yang yang dapat saya tuliskan ketika kita memahami bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP : Pertama, Tentang konfrontasi antara kepastian hukum dan keadilan sosial bagi orang atau barang siapa yamg ingin menegakkan atau menjalankan undang-undang pidana, karena pasal 1 ayat 1 merupakan tiang-tiang dari hukum pidana. Pertentangan tersebut terjadi karena pasal 1 ayat 1 menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan yang dianggap melanggar hukum itu terjadi hal ini menunjukkan tentang kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan, hal itu disebabkan karena proses hukum pidana bermuara pada penjatuhan pidana. Sungguh kiranya hal ini tidak akan mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi korban apabila pemidanaan itu saat terpidana tersebut melakukan perbuatan, akan tetapi aturan hukumnya yang mengancam perbuatannya belum ada. Pasal 1 ayat 1 lebih mementingkan kepastian hukum diatas keeadilan sosial, Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan. Perlu diingat hal itu akan mencederai keadilan hukum yang ada di masyarakat khususnya hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law). Sekarang permasalahan yang konkrit yang akan saya angkat dalam makalah ini adalah bagaimana menyikapi pertentangan tersebut? Mana yang kita dahulukan antara kepastian hukum dan keadilan hukum?

B. ISI

Saya awali pembahasan ini dengan lebih detail dari sejarah asas legalitas dan akan saya lanjutkan ke dalam pembahasan penerapan asas legalitas yang ada pada pasal 1 ayat 1 di dalam hukum indonesia.

Sejarah dan perkembangan asas legalitas
Memaknai Asas Legalitas memang tercantum di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Kalau redaksionalitas kata-katanya asli dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia, makan berbunyi : ”Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Perlu pula untuk menjadi perhatian bahwa menurut Moeljatno istilah feit itu juga diartikan dengan kata ”peristiwa”, karena dengan istilah feit itu mengandung suatu pengertian sebagai perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun perbuatan yang mengabaikan sesuatu yang diharuskan. Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya Hukum Pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Hazewinkel- Suringa berpendapat, jika suatu perbuatan (feit) yang memenuhi rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana, itulah legalitas yang mengikat perbuatan yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang.

Makna Asas Legalitas yang tercantum di alam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda ”Geen delict, geen straf zonder een voorfgaande strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan ”Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan kedua.

Ada dual hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut :

1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan
dan diancam dengan pidana maka perbatan atau pengabaian tersebut harus
tercantum di dalam undang-undang pidana.
2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang
tercantum di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP.
Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Meskipun rumus itu dalam bahasa Latin, namun ketentuan itu, menurut Andi Hamzah, tidaklah berasal dari hukum Romawi. Hukum Romawi tidak mengenal Asas Legalitas, baik pada masa republik maupun sesudahnya. Rumus itu dibuat oleh Paul Johann Aslem von Feuerbech (1775-1833), seorang pakar hukum pidana Jerman di dalam bukunya : ”Lehrbuch des peinlichen Rechts” pada tahun 1801. Jadi merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad ke sembilan belas (Beccaria).

Adagium dari von Feuerbach itu dapat dialirkan menjadi tiga asas seperti yang dirumuskan oleh W.A. van der Donk, yaitu nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena legali. Ternyata pengapilkasian adaqium ini memiliki berbagai pandangan tentang ”nulla poena sine lege”, bahwa di dalam dasar yang sama itu disatu pihak lebih menitik beratkan kepada asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang (Monstesquieu dan Rousseau), dan di lain pihak menitik beratkan kepada asas hukum yang terbagi atas titik berat pada hukum acara pidana dengan maksud peraturan ditetapkan lebih dahulu agar individu mendapat perlindungan dan para penerap hukum terikat pada peraturan itu, dan yang paling terkenal adalah fokus yang menitik beratkan pada hukum pidana pidana materiel dengan maksud setiap pengertian perbuatan pidana dan pemidanaannya itu didasarkan pada undang-undang yang ada (Beccaria dan von Feurbach). Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran yang terkandung di dalam rumusan tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana, pembuat undang-undang menciptakan hukum. Pembuat undang-undang tidak saja menetapkan norma tetapi juga harus diumumkan sebagai norma-norma sebelumperbuatan. Manifestasi pertama kali di dalam Konstitusi Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalam Pasal 8 Declaration desdroits de l’homme et du citoyen tahun 1789. Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke KUHP Indonesia, dan KUHP Belgia pada Pasal 2.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Asas Legalitas dalam KUHP Indonesia (yang berasal dari WvS. Ned.) ini sebenarnya merupakan peraturan yang tercantum dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789, yang berbunyi: ”Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”. Pandangan ini dibawa oleh Lafayette dari Amerika ke Perancis setelah ia membaca dan mempelajari Bill of Rights Virginia tahun 1776 (Bill of Rights = Piagam Hak Asasi Manusia). Dalam Bill of Rights hanya ditentukan, bahwa tidak ada orang yang boleh dituntut atau ditangkap selain dengan dan dalam peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam undang-undang. Jadi asas ini memberikan perlindungan terhadap tuntutan dan penangkapan sewenang-wenang. Asas ini berasal dari Habeas Corpus Act tahun 1679 (UU. Inggris yang menetapkan bahwa seseorang yang ditangkap harus diperiksa dalam waktu singkat), yang pada gilirannya berasal dari Pasal 39 Magna Charta tahun 1215, yang memberikan perlindungan terhadap penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum atau undang-undang (vogelvrij), selain dari jika dijatuhkan putusan pengadilan yang sah oleh “orang-orang yang sederajad” dari orang yang bebas dituntut itu.

Diketahui dalam perjalanan sejarah bahwa Belanda pun yang menganut asas itu didalam KUHP, didalam situasi yang darurat, pernah meninggalkan asas itu, yaitu pada tanggal 22 Desember 1943 di London saat dikeluarkan Keputusan Luar Biasa tentang Hukum Pidana (S.d 61), mengenai beberapa delik terhadap keamanan Negara dan kemanusiaan diberlakukan ketentuan yang berlaku surut. Bahwa pidana mati yang tidak kenal di dalam KUHP Belanda dapat dikenakan sebagai hukum negara dalam keadaan darurat, sebagaimana kita kenal dengan istilah “abnormal recht voor abnormal tijden”., walaupun menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP di Indonesia dianut asas legalitas, namun dahulu sewaktu masih adanya pengadilan Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) nurit b, hakim menjatuhkan pidana penjara maksimum 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak lima ratus rupiah bagi perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.


Penerapan asas legalitas di dalam hukum indonesia.

Dari uraian di atas dapat ditegaskan hal-hal penting yang merupakan dasar kelahiran asas legalitas sebagai bangunan fondasi hukum:
1. Asas legalitas sebgai sarana utama untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam pemidanaan, maksudnya segala kewenangan penguasa harus berdasarkan peraturan perundang-undanganyang telah ditetapkan.
2. Sebagai sarana kepastiam hukum bagi rakyat, hal ini berarti asas legalitas dapat menjadi sarana mewujudkan keadilan dalam pemidanaan dalam satu segi.
3. Sebagai sarana pencegahan kejahatan.
Uraian sedikit diatas Nampak fungsi asas legalitas sangat urgen, akan tetapi ada dampak negatif jika ditinjau dari sisi lain seperti berikut:

1. Keberadaan asas legalitas khususnya formil/ hukum tertulis menyebabkan hukum pidana dan praktek penegakanya menjadi kaku. Karena tidak semua tindakan tercela selalu sudah ada aturan hukumnnya secara tertulis.
2. Keberadaanya asas legalitas secara tidak langsung akan menyebabkan lenyapnya fakta social berupa eksistensi hukum pidana adat yang masih dijunjung tinggi di Indonesia ini.
3. Keberadaanya akan menyuburkan faham individualitas yang berseberangan dengan paham kolektifitas

Perlu dipahami untuk bisa membuktikan seseorang benar-benar telah melakukan suatu tindak pidana, pertama harus diperhatikan dahulu perbuatan orang tersebut memang sudah ada diatur dalam hukum yang menegaskan sebagai perbuatan tercela/terlarang. Maksud dari ini adalah "hukum" sebagai dasar menilai perbuatan orang tersebut adalah adakalanya bisa berupa Hukum tertulis atau Undang-undang (berarti asas legalitas formil) tetapi juga berupa hukum tidak tertulis( asas legalitas material) kedua, fakta menunjukkan perbuatan orang tersebut memenuhi unsure tindak pidana sesuai dengan hukum. Namun yang perlu digarisbawahi yaitu pemahaman tentang wujud pengertian asas legalitas material, yang tidak kaku harus berdasarkan hukum yang tertulis saja. Menurut hemat saya asas legalitas materiel mengakui keberadaan hukum adat atau bahkan hukum yang tidak tertulis.

Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan colonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya. Sebagai peraturan peninggalan Belanda, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.

Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat. Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.

Di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dipakai kata-kata “perundang-undangan pidana” bukan undang-undang pidana, ini berarti bukan undang-undang dalam arti formal saja, tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara materiel merupakan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan lain-lain peraturan yang memiliki perumusan delik dan ancaman pidana, baik yang masuk dalam lingkup Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi (Civil Penal Law dan Administrative Penal Law). Perlu pula untuk dikemukakan mengenai adanya pemdapat para pengarang yang pro dan kontra terhadap eksistensi asas legalitas tersebut di dalam KUHP Indonesia.

Hampir semua penulis yang disebut di dalam tulisan ini dapat digolongkan pro dianutnya asas legalitas, dan khusus untuk Indonesia, dapat disebut seorang penulis, yaitu Utrecht yang keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.

D. Kesimpulan

Bahwa Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Untuk mempertegas permasalahan di atas yaitu apabila terjadi pertentangan mana yang didahulukan antara kepastian hukum dan keadilan, perlu saya tulis bunyi pasal 12 draft RUU KUHP 2005-2006 yang kurang lebih berbunyi " Dalam mempertimbangkan hukum yang diterapkan, hukum sejauh mungkin menerapkan keadilan di atas kepastian hukum". RUU KUHP mungkin kedepan bisa di jadikan guidance (penunjuk) apabila ada dilemma pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal itu haruslah diperhatikan karena sering kali keadilan terdesak, maka apabila keadilan dan kepastian hukum saling mendesak maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Karena muara akhir dari tujuan hukum adalah keadilan social.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin,A Zainal, 2007, Hukum pidana 1 , Jakarta : Sinar grafika
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti;
Atmasasmita, Romli, 1998, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Bagian Kesatu, Bandung: Putra A Bardin;
Hamzah, Andi; 1992, Hukum Pidana Politik, Jakarta: Pradnya Paramita;
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni;
Moelyatno. 1978 Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara,
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni;
---------, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip
E.Utrecht,1986, Hukum pidana 1 Surabaya : Pustaka tinta mas

Selasa, 17 Maret 2009

KOREKSIAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Kata Pengantar
Perjalanan bangsa Indonesia dalam naungan kemerdekaan setelah Proklamasi 17 agustus 1945 begitu tragis. Lelah, sakit, penderitaan rakyat belum bisa hilang dari setiap detiknya walaupun setelah tanggal itu pula katanya Indonesia mengikrarkan sebagai Negara yang sudah merdeka. Merdeka bukan saja bebas dari colonial penjajah merdeka lahiriah dan batiniah adalah kemerdekaan yang hakiki. Dari sekian penderitaan intinya bangsa ini belum 100% merdeka. Perlu kita pahami bersama dan perlu kita renungkan adalah nasib rakyat yang kian terpuruk.

Penderitaan rakyat adalah wujud dari ketidakberhasilan pemerintah dari mulai Negara ini mengikrarkan kemerdekaannya sampai detik ini. Dengan mata telanjang saya bisa membaca alur drama ini, yaitu penderitaan rakyat disebabkan karena pemerintah masih plin-plan menentukan system pemerintahannya sehingga masalah rakyat dilupakan karena penguasa masih sibuk memikirkan system. Ironisnya sytem tersebut sebetulnya udah dikaji dan ditetapkan jauh hari sebelum negeri ini merdeka. Entah kenapa negeri ini ! Dosa apa yang pernah dilakukan negeri ini ! Apa negeri ini dzolim di saat menentukan konstitusinya ! Apa memang mental pemimpin belum teruji atau bodoh ! Apa ini takdir ilahi ! tapi ini semua bisa berubah kalau ada niat menuju kepada perubahan. “ Innallaha layugayyiru bi qoumin khatta yugoyyiru binafsihi “(al-ayah).



Allahumma I dfa’annal bala’ wa-l-waba’ wa-l- fakhsa’ wa-l-munkar wal-fitan ma dzohara fiiha wa ma baton min biladina Indonesia hadza khoosoh. Amin ya rabbal ‘alamin


Yogyakarta, 2 januari 2008


Oleh : Pramadya Khairul Awaludin


ISI
Latar belakang masalah

Jati diri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok dari para warga bangsa, tetapi juga dari pilihan ideologi dan sistem pemerintahan yang dipilih oleh bangsa tersebut. Topik yang hendak saya bahas pada makalah ini adalah sistem pemerintahan demokratis-konstutusional bagaimanakah yang telah dirancang oleh the founding fathers dalam UUD 1945? Masalah sistem pemerintahan tersebut saya pandang perlu kita wacanakan kembali karena selama ini pemahaman kita tentang bentuk dan susunan pemerintahan negara hanyalah didasarkan pada sumber-sumber sejarah yang diragukan keotentikannya. Setelah MPR-RI 1999-2004 melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 2 tahun dan menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan negara, perlu kita pertanyakan apakah system pemerintahan presidensial tersebut yang ditetapkan oleh pimpinan dan anggota BPUPK dan PPKI yang kemudian disahkan sebagai UUD 1945, Konstitusi Pertama NKRI? Kalau konstitusi suatu negara dapat diibaratkan sebagai rel yang akan membawa bangsa tersebut ke tujuan yang dicita-citakannya, apakah cita-cita para pendiri Negara bangsa untuk membentuk pemerintahan negara konstitusional yang demokratis serta yang sesuai dengan corak hidup bangsa dapat tercapai apabila rel tersebut setiap kali diubah arahnya dan dibelokkan? Kondisi itulah yang sedang dialami bangsa Indonesia saat ini setelah MPR mengadakan amandemen terhadap UUD 1945. Maka lebih simple lagi bisa dikatakan berbagai macam gaya system pemerintahan sudah diterapkan di Indonesia ini namun hasilnya sangat tidak memuaskan karena rel sudah berbelok arah ( system yang dirancang oleh the founding father dalam UUD 1945)




Rumusan masalah

Dalam makalah ini penulis akan merumuskan berbagai permasalahan yang hendak dibahas yaitu tentang masalah KOREKSIAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA . Permasalahan yang amat simple tapi membawa saya decak kagum karena teori yang ada di kelas( waktu kuliah) sebagai orang yang baru belajar hukum, teori yang digunakan oleh bangsa ini sangat aneh yang hal tersebut mengundang pertanyaan bagi saya yang baru mempelajari ilmu negara apakah teori-teori tersebut yang super aneh dan amburadul adalah dampak dari krisis multidimensional yang ada atau orang-orang yang duduk di parlemen atau penguasa tidak pernah belajar teori-teori ilmu Negara atau bahkan tidak paham alias JAAHIL MURAKKAB atau para penguasa yang mengamandemen UUD 1945 tidak memahami konsitusi? Karena memahami konstitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya.

Pembahasan

Teori Sistem Pemerintahan

Sejak abad pertengahan para ahli politik sudah telah berusaha menyusun klasifikasi bentuk-bentuk pemerintahan demokratis, tapi baru sebatas diskursus tentang sistem parlementer dan sistem presidensial. Dalam bukunya yang amat berpengaruh „TheAnalysis of Political Systems“, Verney (Routledge & Kegan Paul, 1979), menguraikan dua sistem pemerintahan yang paling popular dan paling banyak digunakan di Negara-negara konstusional demokratis. Dalam diskursus ilmiah tentang sistem pemerintahan,Inggeris selalu dipandang sebagai contoh pemerintahan parlementer, dan Amerika Serikat sebagai model pemerintahan presidensial. Duverger (EJPR, 8/2, Juni 1980) kemudian memperkenalkan bentuk pemerintahan ketiga, Sistem semipresidensial, dan Blondel (Kavanagh dan Peele, Eds., London, Heinemann, Boulder, 1984) memperkenalkan system semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system ) Dari ketiga system tersebut dimana letak system pemerintahan Indonesia?


(1) Sistem parlementer

Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggeris tidak mengenal pemisahan kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pada abad XVI sebagai reaksi terhadap kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan parlementer diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang secara bertahap mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan Raja. Tetapi, kekuasaan eksekutif tetap berada pada Raja. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan eksekutif Raja mulai diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat dari antara anggota-anggota badan perwakilan. Karena para menteri harus betanggunjawab kepada badan perwakilan, lambat laun kekuasaan badan perwakilan bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan negara. Para menteri secara kolektif, atau Kabinet, harus betanggungjawab kepada badan legislatif dan adalah bagian dari badan tersebut. Karena itu dalam system parlementer tidak ada seperation of power, tetapi yang ada adalah fusion of power antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif. Dengan kata lain, system parlementer adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemengang kedaulatan rakyat yang bernama Parlemen.

Pada sistem parlementer cabang eksekutif dipimpin oleh Kepala Negara, seorang Raja dalam negara monarki konstitusional atau seorang Presiden dalam republik, dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan ditunjuk oleh Kepala Negara dan para menteri diangkat oleh Kepala Negara atas usul Kepala Pemerintahan, Kabinet, yang terdiri dari Perdana Menteri dan para menteri, adalah lembaga kolektif, karena perdana menteri adalah orang yang pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat memberhentikan seorang menteri. Tapi dalam kenyataannya perdana menteri selalu memilki kekuasaan yang lebih besar dari para menteri. Perdana menteri dan para menteri biasanya adalah anggota parlemen dan secara kolektif bertanggungjawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau cabinet secara politis bertanggungjawab kepada parlemen. Untuk menghindarkankekuasaan legislatif yang terlalu besar atau diktatorial partai karena mayoritas partaiyang terlalu besar, kepala pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen.

Salah satu karakteristik utama system parlementer yang tidak dimiliki oleh sistem presidensial adalah kedudukan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan dan pemerintah (supremacy of parliament). Dalam sistem parlementer pemerintah tidak berada diatas badan perwakilan, dan sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi dari pemerintah. Karena perdana menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh rakyat, pemerintah parlementer hanya bertanggungjawab secara tidak langsung kepada pemilih. Karena itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal hubungan langsung antara rakyat dengan pemerintah. Hubungan itu hanya dilakukan melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat. Parlemen sebagaipemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan pusat kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar tercapai dinamika hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam parlemen ini lah kader-kader pimpinan bangsa digembleng sebelum suatu hari mendapat kesempatan menjadi pemimpin Negara. Dari uraian tersebut di atas dapat diuraikan antara legislative dan eksekutif memiliki hubungan yang erat dalam sebuah parlementer yang menghasilkan supremasi parlementer dan induknya adalah Iggris. Cirri-cirinya adalah :
  1. • Terdapat sekelompok eksekutif dalam menjalankan pemerintahan yang bertanggung jawab baik secara perseorangan maupun bersama-sama.
  2. • Adanya kerja sama antara eksekutif dan legislative. Legislative dapat menyampaikan mosi tidak percaya kepada eksekutif dan sebaliknya.
  3. • Kepala Negara hanya symbol pemersatu (pemerintahan terletak pada Perdana menteri dan menteri-menterinya) ( Saefuddin 2008). Lebih lanjut klik ini



Senin, 16 Maret 2009

Ide amandemen ke V UUD 45



Ide amandemen ke V UUD 45
(Implikasi Amandemen UUD 1945 terhadap konstelasi ketatanegaraan)

Oleh :  Pramadya Khairul Awaludin

Prof .DR Dahlan Thaib SH., M.Si, Salah satu pakar dan Guru besar HTN UII  yang juga dosen HTN saya waku memberikan mata kuliah HTN dalam bab Konstitusi menyampaikan bahwa, " Konstitusi itu bukan kitab suci". Maksudnya Kitab suci itu tidak boleh berubah, sedangkan konstitusi bisa berubah. Konstitusi bisa dirubah dikarenakan, perkembangan zaman dan dinamika politik yang menghendaki.

Konstitusi sendiri adalah seperangkat kaedah atau peraturan yang mengatur organisasai negara. minimal didalam konstitusi ada tiga muatan dasar :
pertama, Jaminan hak Konstitusional
Kedua, Struktur ketatanegaraan
ketiga, Pembatasan kekuasaan.

Konstitusi UUD 1945 dirumuskan oleh para pendiri NKRI. Tepat pada tanggal 18 Agustus 1945 mereka berhasil merumuskannya . Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan dengan itu rakyat indonesia dalam nuansa kebhinekaan dan kemajemukan dapat diikat dan disatukan dalam satu wadah NKRI.

kendati konstitusi sudah 4 kali amandemen namun dirasa masih ada hal-hal yang belum pasa dalam peraturan dan pengaturan ketatanegaraan. Oleh karena itu perubahan berikutnya terhadap UUD 45 dari sudut Tata Negara merupakan Conditio sine quo non bagi penataan ulang sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan indonesia dalam rangka mendesain demokrasi atau kedaulatan rakyat yang berorientasi pada tegaknya : rule of law, pengendalian kekuasaan, otonomi daerah, civil society dan check and balances.

Beberapa hal hasil amandemen berkaitan dengan ketatanegaraan

1. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung (pasal 6 A)
2. Masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya selama dua periode (pasal 7)
3. Anggota-anggota DPR dan DPD dipilih oleh rakyat melalui PEMILU ( pasal 22 E )
4. TNI dan Polri, Secara inkonstitusional tidak akan ditempatkan lagi sebagai kekuatan politik atau pelaku praktis di DPR maupun MPR (Pasal 2 Ayat 1)
5. Tentang Mahkamah konstitusi (Pasal 24 c)
6. Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota akan dilaksanakan secara demokrasi (Pasal 18 ayat 4)
7. Hasil Pemeriksaan BPK tidak lai hanya disampaikan kepada DPR tetapi juga kepada DPD dan DPRD (Pasal 23 E ayat 2 )

Meskipun MPR telah mengamandemen UUD 45 secara tuntas tetapi jika naskah keseluruhannya dicermati khususnya yang menyangkut materi muatan tentang system ketatanegaraan dan system pemerintahan memang diperlukan kajian kritis. Kesepakatan awal (konsesnsul politik) MPR pada tahun 1999 bahwa UUD 45 hasil amandenmen tetap menganut system pemerintahan presidensial. Ternyata materi pengaturannya tidak konsisten.

Dibawah ini ihwal yang menunjukkan bahwa system pemerintahan tidak diterapkan secara konsisten:

1. MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakkan dirinya sebagai lembaga " Supra"  bahkan diatas konstitusi, indikasinya MPR masih berwenang menetapkan dan melakukan perubahan terhadap konstitusi (Pasal 3 ayat 1)
2. MPR memiliki kewenangan menentukan impeachment terhadap Presiden dan Wakil Presiden meskipun suda ada recomendasi dari MK ( Pasal 7 B ayat 7).
3. Pemihan presiden dan wapres belum disepakati dilaksanakan sepenuhnya secara langsung oleh rakyat, karena msih ada keinginan pemilihan presiden dan wapres oleh MPR " Jika presiden dan wapres mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama..." (Pasal 8 ayat 3)
4. Kewenangan Presiden dalam pengangkatan duta besar dan konsul tidak lagi prerogratif presiden semta, karena harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 2 dan 3)
5. Dalam hal pembentukan, perubahan dan pembubaran kementerian negara, kekeuaasaan presiden dibatasi karena harus diatur dengan UU. (Pasal 17 ayat 4) Sehingga DPR juga memegang kekuasaan.

Inilah berbagai indikasi inkonsisten system pemerintahan presidensial dalam penerapannya setelah amandemen. sehingga perlukah amandemen ke v ?????

Taukah para bapak-bapak yang terpilih yang terhormat yang sekarang lagi sibuk koalisi mengenai hal demikian????

Wallahu a'lam bisshowab




Senin, 02 Maret 2009

“ KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA“


Kata Pengantar penulis
Assalamu’alaikum Wr Wb
Dengan Menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dalam beberapa kasus korupsi, banyak pelaku justru dihukum ringan atau
dibebaskan. Banyak penyidikan atas mereka yang dicurigai melakukan korupsi
dihentikan di tengah jalan dengan aneka alasan. Tak sedikit pelanggaran hak
asasi manusia yang pelakunya menikmati impunity (bebas dari sanksi hukum). Sudah lama system peradilan di Indonesia dipertanyakan.Kepercayaan terhadap integritas penegak hukum ada pada titik terendah. Upaya penanggulangan korupsi sudah diawali sejak tahun 1960 secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Tapi apa hasilnya survey dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2005-2007 dari 1.400 usahawan asing terhadap 13 negara Asia, menunjukkan Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara yang paling korupsi dalam aktivitas ekonominya, setelah Filipina dan Thailand. Dari sini timbul pertanyaan kepada seluruh lapisan masyarakat. Solusi apa yang tepat menanggulangi korupsi di Indonesia ?
Dengan tulisan yang sangat sederhana ini saya tulis dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami. Tulisan ini pula yang menjadi uneg-uneg (motivasi) dalam isi hati saya atas kondisi Negara yang rapuh akibat korupsi. Minta ma’af yang sebesar-besarnya atas kekurangan dari tulisan ini yang masih terdapat kesalahan-kesalahannya. Kesempurnaan hanya milik Allah wa-l-khaqqu lillah wannuqsonu linnasi.
Wassalamu’alaikum Wr Wb


“ KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA“ :
(Realitas, factor penyebab dan solusi penanggulangannya)

Oleh : Pramadya Khairul Awaludin Al-madiuny

PENDAHULUAN
Kalau di dalam islam ada sekte atau aliran yang berpaham ahlus sunnah waljama’ah atau biasa disingkat (ASWAJA), maka di Negara Indonesia membuat jama’ah tandingan baru yang bernama ahlul-korup waljama’ah. Para jama’ah korusi ini meliputi elit, semi elit, biasa, orang tua, orang muda atau bisa dikatakan virus yang bernama KORUPSI sudah menjangkiti seluruh elemen masyarakat di Negara ini. Tidak tanggung-tanggung korupsi menjadi budaya para elit di negeri ini pada khususnya. Bahkan seorang guru besar hukum pidana pun yang konon ditunggu opininya tentang penanggulangan serta pemberantasan korusi terdengar kabar menjadi tersangka dengan terjerat kasus korupsi di salah satu departemen kementrian di eksekutif.
Konon dahulu kala koruptor masih malu melakukan korupsi atau dengan bahasa yang sederhana mudah dipahami, koruptor melakukan korupsi secara khufyah atau sembunyi-sembunyi. Akan tetapi sekarang koruptor melakukan korupsi secara jahran atau terang-terangan. Koruptor sudah menanggalkan rasa malu dengan meninggalkan setrategi koruspsi secara sembunyi-sembunyi dengan metode baru korupsi secara jama’ah atau korusi bersama-sama. Dan alangkah hebatnya ternyata watak-watak korusi ini mempunyai banyak kawan dan teman sehingga terbentuklah sebuah golongan atau komunitas baru yang dinamai ahlul korup waljama’ah tadi.
Wallahu ‘alam sedikit saya memberikan catatan buruk atas kinerja penguasa negeri ini. Saya memilki catatan bahwa penanganan korupsi di negeri ini tampak kurang sungguh-sungguh atau kesungguhan Negara ini menangani virus yang bernama korupsi ini memang sedikit terlambat. Walaupun tercatat ada dua Undang-undang yang lahir dari kurun waktu 1960-1998 sebelum dikeluarkannya TAP MPR NO IX /MPR/1998 Tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dua Undang-undang itu adalah :
1. UU RI NO 24/PRP/1964 Tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi; dan
2. UU RI NO 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah dikeluarkannya TAP MPR NO IX /MPR/1998 Tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme lahirlah UU RI No 31 tahun 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI serta UU RI No 20 tahun 2001 tentang PERUBAHAN ATAS UU RI No 31 tahun 1999 tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Untuk alasan apa yang melatar belakangi pendapat saya tentang nilai buruk penanganan virus yang dijalankan pemerintah khususnya akan saya bahas secara umum di bab berikutnya.
Dari uraian singkat di atas kiranya dapat ditarik sebuah permasalahan sekaligus opini saya tentang solusi pemberantasan korupsi yaitu :
a. Bagaimana realita fenomena korupsi di Indonesia ?
b. Faktor apa saja yang menyebabkan mewabahnya virus korupsi di Negara Indonesia ?
c. Pendapat saya tentang solusi penanggulangannya ?

ISI
A. Realita korupsi di Indonesia
Masalah korupsi merupakan fenomena kebudayaan manusia yang cukup tua. Kemungkinan setara umurnya dengan peradaban manusia. Paling tidak perkiraan saya korupsi lahir ketika atau pada saat manusia kenal dengan pola hidup bersama, berkelompok dan membentuk masyarakat. Dan pendapat saya tidak ada korupsi kalau tidak adanya perbuatan merugikan orang lain, dan perbuatan itu dilakukan minimal satu orang dengan satu orang lainnya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebelum melangkah jauh keranah realita korusi di Indonesia, alangkah baiknya kita uraikan definisi, esensi serta cirri-ciri korupsi itu sendiri.”Korusi” berasal dari kata latin corruptus artinya sesuatu yang rusak atau hancur. Dalam bahasa inggris digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti frasa “ a corrupt manuscript ( naskah yang rusak ) dan dapat juga untuk menyebutkan kerusakan tingkah laku sehingga menyatakan pengertian tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dipercaya (dishonest). Selain itu “ Korupsi” juga untuk menyatakan tidak bersih (impure) seperti frasa Corrupt air. Dari sekian banyak definisi korupsi saya mengutip dalam “ Webster’s Third New International Dictionary” bahwa korupsi didefinisikan ajakan (dari seseorang pejabat public ) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas. Definisi krupsi dari www.kpk.go.id adalah korupsi "juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan (melawan hukum) yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan”
Menurut syed Hussein alatas esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang menghianati kepercayaan.
Sedangkan korupsi ditandai oleh cirri-ciri sebagai berikut :
a. Adanya penghianatan kepercayaan
b. Keserbarahasiaan
c. Mengandung penipuan terhadap badan public atau masyarakat
d. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus
e. Diselubungi dengan bentuk-bentuk pengesahan hukum
f. Terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.
Setelah diketahui secara rinci definisi, esensi serta cirri-ciri korupsi itu sendiri mari kita mengeksplore tentang realitas korupsi di Indonesia. Banyak orang bahkan pers sering menyebutkan korupsi itu budaya. Betulkah itu? Perhatikan uraian dari www.kpk.go.id berikut ini:
Apa betul korupsi itu budaya kita?
Budaya,
adalah sekumpulan nilai, norma, aturan, maupun tata cara yang merupakan acuan suatu masyarakat.
Sementara,
di dalam hampir semua kebudayaan, korupsi dianggap sebagai perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindakan kriminal.
Jadi,
sebetulnya korupsi bukanlah bagian dari sebuah unsur kebudayaan.
Tapi ingat! ,
dari tinjauan sejarah, ditemukan – korupsi dapat menghancurkan kebudayaan.

Dari uraian diatas memang pengucapan budaya korupsi itu salah kaprah. Akan tetapi hal tersebut haruslah kita jadikan sebagai pengingat Indonesia jangan sampai korupsi menjadi kebudayaan yang legal di Indonesia. Dan pada makalah ini untuk memudahkan penyebutan disana-sini masih saya tulis dengan pengucapan budaya korupsi. Asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut. Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem“. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde-Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka.







Melihat fase yang ada diatas maka tak heran Indonesia tahun 2005 – 2007 mendapat peringkat yang amat tidak memuaskan berdasarkan Survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dari 1.400 usahawan asing terhadap 13 negara Asia, menunjukkan Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara yang paling korupsi dalam aktivitas ekonominya, setelah Filipina dan Thailand.
Daftar negara yang paling korupsi sampai yang yang paling kecil tingkat korupsinya berdasarkan survei PERC :
1. Filipina 9,00 (tahun lalu 9.00 juga)
2. Thailand 8,00 ( tahun lalu 8,03)
3. Indonesia 7,98 (8,03)
4. China 7,98 (6,29)
5. Vietnam 7,75 (7,54)
6. India 7,25 (6,67)
7. Taiwan 6,55 (6,23)
8. Malaysia 6,37 (6,25)
9. Korea Selatan 5,65 (6,30)
10. Macau 3,30 (5,18)
11. Jepang 2,25 (2,10)
12. Hong Kong 1,80 (1,87)
13. Singapura 1,13 (1,20).
Inilah realita yang ada di negara Indonesia, maka jangan heran kalau lambat laun tidak serius upaya pemberantasannya korupsi akan menjadi kebudayaan.
B. Faktor penyebab korupsi
Walaupun tidak secara lugas diterangkan didepan, sedikit dapat juga dimengerti bahwa korupsi membudaya dan berkembang seiring manusia mengenal kehidupan bersama. Dan itulah walaupun tidak secara langsung sebagai penyebab korupsi terjadi. Sepaham dengan pendapat mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang dikutip di www.kapan lagi.com pada konvensi nasional media massa dalam rangka kegiatan Hari Pers Nasional (HPN) dan Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) VIII 2005 di Pekanbaru, Riau, Selasa (8/2). mengakui, ada empat faktor dominan penyebab merajelalanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum yang masih lemah, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan `political will. "Dari empat faktor itu telah menyebabkan uang negara dikorupsi lebih kurang Rp300 triliun tiap tahunnya. KPK juga tidak mau kalah penyebab korupsi adalah :
a. Sifat tamak manusia/serakah
b. Budaya permissif/tidak mau tau tahu
c. Kebutuhan Hidup Yang Mendesak
d. Ajaran Agama Yang Kurang Diterapkan.
Dan menurut pandangan religi saya factor ajaran agama yang kurang diterapkanlah yang paling dominan diantara sekian factor yang ada.

C. Solusi penanggulangan

Korupsi merupakan sebuah virus yang sangat akut, maka solusi yang paling tepat adalah melalui pesan nilai-nilai Agama. Dan terlebih khusus di Indonesia yang mayoritas beragama islam maka pesan Allah di dalam Al-qur’anulkarim perlu diperhatikan. Dari mana hal itu diawali, maka awalilah dari penguasa. Penguasa bersih rakyat sejahtera dan jauh dari korupsi. Disamping itu perlu peningkatan iman serta dibarengi perbaikan system, Namun di antara keduanya ini, mempertebal keimanan (ketakwaan) adalah yang paling utama, sesuai firman Allah: “Berbekallah kamu, sesunggunya sebaik-baik bekal adalah takwa” (Al-Baqarah: 197). Nabi Muhammad saw bersabda: “Si pemberi dan penerima suap sama-sama di dalam neraka” (HR. Abu Daud).
Apabila hal diatas dilaksanakan saya menjamin 100 % Indonesia akan menjadi Negara yang makmur gemah ripah loh jinawi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

PENUTUP
Kini sudah menjadi gejala umum “Korupsi” digunakan untuk mendapatkan apa saja yang diinginkan. Karena itu, kampanye kembali ke jalan agama dan etika perlu ditingkatkan dan hendaklah dimulai dari kalangan atas, karena sesungguhnya di kalangan ataslah terjadi banyak kasus korupsi. Penulis tekankan kembali ke jalan agama dan etika, karena untuk masa sekarang ini Undang-Undang (UU) dengan sanksinya tidak mampu lagi mencegah terjadinya korupsi.